no fucking license
Bookmark

Dilema Suka Tak Suka Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru

 

 

Dilema Suka Tak Suka Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru

 


KUHP BARU

Memang asik ketika berbicara hukum di Negara Hukum. Lantas ketika ada pertanyaan tentang definisi hukum ? siapa yang pantas menjawab hal tersebut ? harus belajar sampai doktor kah ? banyak pertanyaan ketika membahas tentang hukum, karena hakikatnya hukum merupakan hal yang abstrak dan luas. Karena dalam buku-buku tentang hukum definisi hukum sangat banyak, ketika definisi hukum hanya terpaku satu definisi saja, tentu hal tersebut akan mereduksi fungsi hukum sendiri.

Di bulan Desember 2022 terdapat catatan sejarah menarik dari sisi hukum Indonesia. Tepatnya setelah 30 November 2022 pemerintah Bersama DPR RI mengeluarkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang final. Kemudian di tanggal 6 Desember 2022 DPR menggelar rapat paripurna di gedung mewah DPR RI dan TOK! Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah menjadi Undang-undang yang sah dan siap ditegakkan berdasarkan keadilan.

Mulai tahun 2019 hingga tahun 2022 banyak produk hukum baru yang meskipun banyak kritikan dari pakar hukum hingga masyarakat masih saja pemerintah bersama lembaga yang berwenang tetap melanjutkan pembuatan produk hukum baru hingga TOK! dan sah. Dalih pembuatan produk hukum baru ini adalah untuk memompa kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat. Relevansi yang ada keberpihakan produk hukum tersebut kurang tepat atau kurang mengarah terhadap kepentingan masyarakat.

Kemudian di Tahun 2020 kita diingatkan terkait pengelolaan anggaran dalam penanganan covid-19 produk hukum yang dihasilkan memang berpihak kepada rakyat tetapi ada garis bawahnya yaitu segelintir rakyat saja. Seperti semacam kelas yang menerima dampak positif dari produk hukum kala itu. Di pertengahan tahun 2020 kita harus mengingat bahwa terdapat produk hukum yang menggunakan sistem omnibus law. Bahkan berjuta kritik dan argumen terhadap omnibus law yang diaspirasikan, pada akhirnya TOK! dan sah juga.

Sistem omnibus law yang mendapatkan kritik sebagai ancaman menghianati amanah reformasi nyatanya undang-undang ini seakan-akan menjadi suprastruktur dari pemerintah. Di sela-sela produk hukum yang membuat dilemma masyarakat, kemudian masyarakat juga dipertontonkan dengan ironis tentang penyelewengan dana bansos yang seharusnya diterima masyarakat. Terdapat istilah yang kita kenal yaitu “sudah jatuh tertimpa tangga”, tentu tulisan ini bukan mengarah menyalahkan terhadap pemegang kekuasaan hanya mengarah terhadap yang dinarasikan selama ini “hanya oknum”.

Bung Rocky pernah menarasikan “yang harus dibangun dalam perpolitikan di Indonesia adalah argumen bukan sentimen”. Secara tidak langsung jika kritik yang dilontarkan hanya sebatas sentimen dan menyalahkan sama saja mereduksi fungsi otak. Karena dalam mengkritisi diwajibkan seseorang harus berpikir terlebih dahulu.

 Hukum adalah produk politik

Indonesia memiliki pakar hukum tata negara yaitu Prof Mahfud MD yang kali ini saya sepakat yang diasumsikan dalam bukunya “Politik Hukum di Indonesia” bahwa hukum adalah produk politik. Secara analogi sederhana produk hukum baru merupakan kehendak politik dari kelompok yang mendominasi di jajaran penguasa. Bahayanya adalah ketika aspirasi masyarakat terabaikan maka produk hukum yang lahir cenderung konservatif atau elitis.

Semakin kencang arus politik jika semakin mendekati tahun-tahun politik seperti pemilihan presiden. Dan produk hukum yang konservatif atau elitis yang patut dicurigai adalah karena ada drama kontestasi agar kepentingan dan aspirasi kekuatan kelompok politik dapat terakomoasi di dalam keputusan politik. Antara politik dan hukum memang tidak bisa dipisahkan yang dikuatkan dari narasi Mochtar K “politik tanpa hukum itu zalim, sedangkan hukum anpa politik itu lumpuh”.

Dilema Hukum Pidana 

Kembali dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang telah sah menjadi Undang-undang. Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini digadang-gadang di mana rakyat harus bangga bahwa produk hukum ini merupakan buatan anak bangsa. Tentu dalam memaknai hukum tidak bisa secara simbolik tetapi harus secara substansi dan secara substansi beberapa pasal masih krusial serta menuai banyak masukan agar ditunda terlebih dahulu dalam pengesahan diupayakan untuk perbaikan. Bahkan ancaman gugatan ke Mahkamah Konstitusi saja masih tetap lanjut pengesahan produk hukum ini. Lantas siapa yang lebih absolut di sini ? yang mengatasnamakan rakyat atau rakyat itu sendiri ?

Pasal-pasal yang masih kontroversial di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentu harus diurgensikan ketika hal itu mengancam hak dan kewajiban rakyat. Karena dalam Hukum Pidana itu sendiri merupakan suatu aturan dengan apa pun yang dituntut oleh produk hukum ini maka disebut dengan kewajiban, meskipun itu ditaati atau tidak. Sederhananya jika tidak menaati maka dianggap bertentangan dengan hukum dan yang dilakukan adalah salah serta dianggap sebagai pelanggaran.

Bukannya seperti itu yang dirasakan masyarakat yang hidup di Indonesia yang merupakan negara hukum ini ? Hukum Pidana merupakan produk hukum yang ingin atau tidak maka harus dilakukan, serta masyarakat tahu atau tidak tentang hukum pidana jika perbuatan yang dilakukan melanggar hukum maka harus dihukum. Sehingga ketidakpatuhan dalam hukum terus diikuti dengan tindakan yang telah diancamkan.

Apabila dalam pelaksanaan produk hukum baru buatan anak bangsa ini tidak adil maka apakah masih bisa disebut hukum ? tentu pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan pas oleh orang yang memiliki kekuasaan di dalam jajaran pemerintahan. Kepercayaan umum di tengah masyarakat Indonesia fungsi utama hukum pidana untuk mengontrol masyarakat. Produk hukum ini diharapkan yang tanpa campur tangan dari penegak hukum, masyarakat dapat paham dan mengerti terhadap peraturan yang dilakukan. Tetapi apabila yang terjadi sebaliknya ? yang hanya pada saat hukum dilanggar, maka kejadian ini menandakan fungsi utama hukum telah gagal.

Dalam kesimpulan sederhananya produk hukum itu seringkali mengintervensi atas perbuatan dan pelaksanaan hukum  itu sendiri. Maka jika dihadapkan dalam kondisi seperti ini akan bias antara lebih tinggi mana antara hukum dengan kehendak politik di Indonesia yang merupakan negara hukum. Maka tidak bisa dipungkiri bahwa konfigurasi politik memiliki pengaruh terhadap karakter produk hukum.

Hukum pidana yang sudah dimuktakhirkan harus dipatuhi suka tidak suka atau ingin tidak ingin. Tetapi harapan yang ada di masyarakat adalah menginginkan hukum harus adil, dan apabila pasal-pasal kontroversial ini belum dipihakkan kepada masyarakat secara pas maka tidak kaget apabila ada tindakan gugatan kepada lembaga yang memiliki kompetensi. Sudah menjadi hal lumrah ketika unjuk rasa, menyampaikan aspirasi, kritik kepada pemerintah dalam bentuk lisan atau tulisan yang menandakan bahwa atmosfer demokrasi tidak dibungkam,

 


Posting Komentar

Posting Komentar

Silahkan memberi tanggapan yang membangun