no fucking license
Bookmark

Kampus Merdeka: Mahasiswa Sebagai Civitas Bukan Komoditas

 

 Kampus Merdeka: Mahasiswa Sebagai Civitas Bukan Komoditas !




Hiruk pikuk makin hari semakin menjadi-jadi dan menjadi dilema di bidang pendidikan. Pendidikan yang pada hakikatnya berasal dari kata didik tetapi masih ada saja melalui bidang pendidikan dimanfaatkan untuk niat licik. Mahasiswa di kampus yang seharusnya menjadi subjek dan diharuskan berpikir merdeka dan peduli dengan lingkungan sekitarnya. Bilamana pendidikan di kampus seharusnya harus mengejawantahkan dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Terutama gelar sebagai mahasiswa secara tidak langsung juga menanggung tugas moril untuk kehidupan bangsa, yang harus peduli terhadap keberlangsung kemajuan bangsa di masa yang akan datang, tetapi ketika dimulai dari pendidikan yang tidak merdeka dan mahasiswa hanya sebagai komoditas yang berakibat akan mati rasa generasi mudanya.

Konsep Pendidikan - Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia pada masanya beliau sangat menentang bentuk feodalisme. Salah satunya yang diterapkan di Taman Siswa, pada saat itu beliau menerapkan kesetaraan. Di mana konsep kesetaraan di sini siapapun yang tergabung dalam Taman Siswa tidak boleh menggunakan gelar bangsawannya. Untuk laki-laki sendiri diganti dengan sebutan “Ki”, untuk perempuan yang sudah menikah disebut dengan “Nyi” dan “Ni” untuk perempuan yang belum menikah.

Konsep Pendidikan yang diusung oleh Ki Hajar Dewantara masih sangat relevan jika digunakan di masa sekarang. Beliau menganggap pendidikan itu penting. Ki Hajar Dewantara menciptakan pendidikan kerakyatan, tujuan beliau adalah dengan mendidik anak sama dengan mendidik rakyat. Karena anak atau generasi muda akan menjadi generasi yang akan memimpin nanti. Dalam proses pendidikan beliau terdapat konsep Triloka: Ing Ngarso sung tuladha (yang didepan memberikan contoh); Ing Madya Mangun Karsa (Di tengah membangung kreatifitas); dan Tut Wuri handayani (Yang dibelakang mendorong atau mendukung). Sistem pendidikannya yang dikenal dengan Tri Mong: Momong (merawat atau menjaga dengan kasih sayang); Among (merawat atau menjaga lalu memberikan contoh yang baik; dan Ngemong (merawat atau menjaga dengan jauh dan diiringi kesabaran).

Hasil dari proses pendidikan yang dibawakan oleh Ki Hajar Dewantara diharapkan agar rakyat terdidik maka rakyat tidak mudah dibodohi. Secara tidak langsung rakyat atau siapapun yang menerima atau menjalankan pendidikan baik formal atau pun non-formal yakni mereka dijadikan subjek yang dapat berpikir kritis serta dengan diberikannya pendidikan menjadi manusia yang memiliki budi pekerti dan karakter yang baik.

Kampus Melenceng dari Kiblat Akademia

Kampus merupakan suatu komunitas yang wajib mendedikasikan dirinya untuk kegiatan-kegiatan yang membangun, kehidupan yang peduli dengan kemajuan masyarakatnya. Di roda birokrasi kampus harus dijalankan dengan baik sesuai dengan tujuan dari pendidikan tinggi, baik dalam tata kelola administrasi, menghimpun dana dan menjalankan kehidupan masyarakat kampus. Sehingga ketika hasil luaran yaitu mahasiswa yang dibentuk di dalam kampus memiliki nilai dan daya tawar dapat benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan bangsa.

Miris ketika mendengar kabar berita ketika calon mahasiswa akan mendaftar ke suatu kampus harus menyogok atau mahasiswa titipan, ketika rektor suatu universitas atau oknum dosen yang melakukan tindak pidana korupsi, kampus swasta yang bangkrut karena di bawahi yayasan yang korup, pengelolaan anggaran yang tidak transparansi dan korup, adanya tindak pelecehan seksual yang dilakukan oleh dosen dan lain sebagainya.

Maka jika kita sebagai mahasiswa yang hidup di suatu kampus yang menerapkan kebijakan janggal atau melenceng dari makna pendidikan maka kiblat universitas harus diluruskan menjadi akademia karena perlu disadari bahwa kampus bukan merupakan mall atau penjara. Konflik umum yang sering terjadi adalah kampus berubah menjadi pasar yang mahal, jualan termahal kampus adalah mahasiswanya yang juara. Meminjam kalimat dari Pidi Baiq "Dulu, nama besar kampus disebabkan oleh karena kehebatan mahasiswanya. Sekarang, mahasiswa ingin hebat karena nama besar kampusnya." Sehingga yang ditakutkan adalah ketika mental mahasiswa yang hanya bangga terhadap hasil penjualan kampus yaitu nama besar kampusnya, bukan lagi proses pendidikan yang mendidik masing-masing mahasiswa memiliki kapasitas seorang akademis. 

Dengan kediktaktoran oleh pimpinan kampus dan yang menghalangi tujuan kampus seringkali mahasiswa yang dijadikan objek dan sebagai suatu ancaman bagi kampus. Yang pada kenyatannya hanya menanyakan ketransparanan anggaran untuk kegiatan mahasiswa, menuntut hak untuk menerima pendidikan yang layak, tetapi yang diterima adalah jawaban “Kamu pilih saya DO atau kamu mengundurkan diri”. Sebenarnya menanyakan atau menyuarakan tuntutan hak menerima pendidikan yang seharusnya bukan lah suatu hal yang salah, mahasiswa bukanlah objek yang terus digali keuangan untuk menutupi keinginan kampus dengan dalih membangun gedung atau menyejahterakan pegawai atau dosen, hingga menepikan tujuan awal yaitu pendidikan yang merdeka yang diterima mahasiswa.

Potret suram kampus ketika sudah cenderung dijadikan komoditi ekonomi yang keluar dari kiblat Academis Value. Terkadang langkah polarisasi yang digunakan oleh kampus adalah membedakan mahasiswa reguler dengan mahasiswa beasiswa. Mirisnya adalah ketika mahasiswa penerima bidikmisi yang berlatarbelakang kurang mampu secara ekonomi dan melanjutkan pendidikan tinggi di kampus yang melenceng dari Academis Value. Hak dan kewajiban yang diberikan kepada mahasiswa harusnya setara seperti konsep yang sudah dicontohkan oleh Bapak Pendidikan Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara.




Kehidupan Kampus yang katanya "Kampus Merdeka"

Kampus yang dalam mengelola pendidikan cenderung untuk komoditas maka negara ini akan mengalami permasalahan multi faktor yang membentuk lingkaran setan. Mahasiswa yang lulus dari kampus seperti itu seakan-akan mendukung atau mengeluarkan output calon koruptor bagi negara. Yang semakin menjadi-jadi adalah oligarki ekonomi semakin menguasai legislatif dan/atau eksekutif.

Kampus Merdeka sebenarnya konsep dari solusi yang apik untuk diterapkan. Kampus Merdeka seharusnya menjadikan perkuliahan sebagai pendidikan kritis bagi mahasiswa, terutama menjadi wahana membangkitkan kesadaran kritis di kalangan mahasiswa. Yang harus dipahami pendidikan bukan sekedar sosialisasi informasi, melainkan upaya untuk menggerakkan. Tetapi kalau ada yang tidak merasakan dampak dan manfaatnya, apakah mungkin bukan merupakan target pembelajaraannya ? begitu sulit diharapkan.

Pendidikan tinggi bagi mahasiswa jangan sampai membingungkan. Ketika sudah waktunya terjun ke dunia masyarakat bukannya menerima manfaat tetapi masyarakat malah tambah bingung. Konsep yang diusung oleh Ki Hajar Dewantara maksudnya jangan sampai pendidikan itu menjauhkan dari gerakan konkret atau masyarakat. Budaya Eropa yang pendidikannya jauh dari budi pekerti, sehingga menciptakan intelektualisme, kemudian mendewakan angan-angan dan sering berspekulasi, sehingga terciptanya luaran yang individualisme. Target pendidikan di Indonesia sudah selayaknya memiliki prinsip sendiri.

Sudah selayaknya di lingkup kampus ketika ada pertanyaan harus ada jawabnya, sehingga tidak salah ketika mahasiswa menanyakan terkait kebijakan kampus, bagaimana transparansi keuangan kemudian rektorat menjawabnya. Bukan malah jawaban yang diterima “itu urusan pimpinan” atau mendapatkan ancaman drop-out dan disodorkan pilihan untuk mengundurkan diri. Apakah mahasiswa bukan bagian dari civitas kampus yang memiliki hak untuk menanyakan hal tersebut ? atau jangan-jangan mahasiswa hanya sebagai komoditas ?


2 komentar

2 komentar

Silahkan memberi tanggapan yang membangun
  • Anonim
    Anonim
    13 Desember, 2022 19:16
    Hidup mahasiswa.
    Reply
  • Anonim
    Anonim
    13 Desember, 2022 18:58
    😲
    Reply